Sertifikasi Guru Dalam Jabatan

Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permen Diknas) No.18 Tahun 2007 sebagai jawaban atas masa kekosongan hukum yang mengatur pelaksanaan sertifikasi. Peraturan Pemerintah (PP) tentang sertifikasi memang belum ditetapkan, tetapi sertifikasi harus tetap berjalan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2003 tentang Guru dan Dosen.

Telepas dari adanya keterlambatan waktu, kehadiran program sertifikasi layak diapresiasi sebagai program prestisius dalam pengelolaan mutu pendidik. Dikatakan demikian karena pertama, didalamnya mengandung tatanan idealisme untuk mengubah sistem pengelolaan kualitas guru kearah yang lebih sistemik dari apa yang telah dilakukan sebelumnya. Kedua, dengan kenaikan tunjangan profesi sebesar 1 kali gaji pokok bagi guru yang bersertifikat, program ini akan berdampak signifikan terhadap kesejahteraan guru negeri dan swasta di Indonesia.

Sebagaimana dinyatakan dalam Permen Diknas No.18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan, terdapat 10 aspek yang menjadi parameter penilaian. Aspek-aspek itu meliputi: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, serta (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Aspek-aspek tersebut harus dipenuhi guru dengan cara mengumpulkan dokumen keprofesiannya yang disusun dengan sistematika sebagaimana diatur dalam Panduan Penyusunan Portofolio yang diterbitkan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. Bobot skor untuk setiap aspek telah ditetapkan dengan rentang nilai kelulusan berada pada kisaran 850 s.d. 1.500. bagi mereka yang memperoleh nilai lebih rendah dari batas kelulusan, ada tiga kemungkinan yang harus ditempuh; melengkapi kembali dokumennya, atau mengikuti fase Diklat Profesi Guru, atau mengikuti Pendidikan Profesi Pendidik.

Program Sertifikasi Guru Dalam Jabatan tahun ini yang melibatkan 190.450 peserta (88,2%Depdiknas dan 11,8% Depag) masih akan dihadapkan pada sejumlah persoalan. Persoalan yang paling krusial diperkirakan terjadi pada proses pengumpulan dokumen yang dibutuhkan sebagai syarat penilaian potofolio.

Guru yang bekerja di lembaga pendidikan swasta diperkirakan akan mengalami kemiskinan dokumen keprofesian lantaran akses kesejarahan profesi mereka tidak lebih baik daripada guru yang mengajar di lembaga pendidikan negeri. Di samping itu, lembaga pendidikan swasta yang secara umum menggunakan “manajemen keikhlasan” acapkali mengabaikan keteraturan pengelolaan administrasi sehingga berakibat pada kelangkaan bukti autentik bagi guru.

Dalam keadaan demikian, pengadaan dokumen bagi mayoritas guru swasta akan dihadapkan pada kendala kelangkaan bukti fisik yang mendukung track record keprofesiannya. Sebaliknya, guru negeri tampaknya akan bernasib lebih baik karena lembaga pendidikan negeri pada umumnya telah mengembangkan sistem pengelolaan administrasi yang lebih baik.

Kelangkaan dokumen bukan hal yang mustahil mengakibatkan adanya “projek pengadaan” dokumen baru yang keabsahannya dapat diragukan. Oleh karena itu, kemungkinan munculnya lembaran kertas baru berupa SK, surat tugas, RPP, sertifikat, piagam penghargaan, hasil penilaian atasan, dsb. yang berwujud baru merupakan fenomena yang pasti akan terjadi dalam program sertifikasi tahap pertama.

Ini memerlukan kearifan bersama, karena bukti fisik yang dibuat baru boleh jadi benar-benar sebagai rekaman sejarah guru yang tertangguhkan atau mungkin sebuah upaya manipulasi yang disengaja. Inilah diantaranya tugas berat assessor di PT-LPTK!

Persoalan lain terkait dengan uji validitas dokumen yang menyangkut konsistensi bukti fisik dengan realitas kinerja. Sebagai contoh, salah satu aspek yang paling kruisial dalam penilaian portofolio adalah penilaian terhadap aspek perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Secara ideal, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran merupakan dua unsur yang seharusnya yang terkait satu dengan yang lainnya.

Dengan kata lain, perencanaan yang disusun dalam bentuk RPP harus menjadi acuan pengembangan pembelajaran. Namun, model portofolio yang tidak memungkinkan tim assessor untuk memeriksa langsung proses pembelajaran dapat mengakibatkan penilaian pada aspek ini lebih menekankan pada logika keterraturan perencanaan pembelajaran daripada realitas pelaksanaannya. Dalam arti kata, peluang untuk memperoleh skor yang lebih tinggi untuk aspek ini dapat diraih oleh guru yang lebih cerdas dalam merancang RPP, bukan oleh mereka yang lebih rajin mengajar.

Meski penilaian dokumen memang masih menyisakan persoalan, terutama menyangkut tingkat kesahihan hubungan bukti fisik dengan realitas kesejarahan dan kinerja guru, hal ini tentu tidak harus mendorong guru untuk bertindak terlampau pragmatis dan terjebak pada paham legal-formalistik.

Pengumpulan dokumen portofolio merupakan langkah awal yang harus ditempuh oleh guru, sedangkan bagi mereka yang belum lulus, pemerintah menyediakan jalan keluar (exit strategy) dengan adanya Diklat Profesi Guru (DPG) dan Pendidikan Profesi Pendidik yanag akan diselenggarakan oleh PT-LPTK.

Hal yang paling dirasakan oleh guru yang lulus sertifikasi adalah perbaikan kesejahteraan mereka. Kalau tahun-tahaun sebelumnya pemerintah selalu menghitung kenaikan gaji berdasarkan persentase dari gaji sebenarnya, sekarang pemerintah membuat gaji baru berupa tunjangan profesi. Dengan adanya klausal “sebesar 1 kali gaji pokok” sebenarnya pemerintah akan memberikan tunjangan profesi yang besarnya setara dengan 1 kali gaji pokok guru PNS. Ini berlaku untuk guru negeri maupun swasta yang lulus program sertifikasi dan telah memenuhi sejumlah persyaratan.

Naumun di balik itu semua ada kewajiban yang harus dipenuhi guu, yakni komitmen terhadapb peningkatan kinerja. Kalau saat ini alasan klasik tentang lemahnya semangat guru dalam menjalankan tugas lebih diakibatkan oleh faktor kesejahteraan guru yang belum sesuai harapan, pada masa mendatang hal itu diharapkan tidak terjadi lagi.

Oleh karena itu, program sertifikasi diharapkan dapat berdampak positif terthadap berbagai hal. Profesi keguruan yang sementara ini masih dianggap kurang bergengsi secara berangsur dapat merebut simpati masyarakat. Penghargaan masyarakat sebenarnya tidak hanya merujuk pada indicator kesejahteraan, tetapi juga pada pembuktian komitmen guru dalam meningkatkan unjuk kerja demi mutu pendidikan.

Tidak mustahil, kelulusan program sertifikasi malah menyebabkan sejumlah guru menuai protes lantaran kesejahteraan yang diterima tidak sebanding dengan unjuk kerja yang ditampilkan. Kejadian semacam itu tentu tidak diharapkan karena akan merusak citra profesi guru sendiri.

Di sisi lain, proses pengambilan kebijakan juga memerlukan kearifan bersama terutama menyangkut penegakan prinsip pemerataan dan keadilan oleh semua pihak yanbg terlibat di dalamnya. Sedcara de jurre aturan main program sertifikasi telah diatur dalam Kepmen Diknas No. 18 Tahun 2007 dan sejumlah regulasi pendukung lainnya, namun secara de facto boleh jadi masih terjadi deviasi program akibat ada kepentingan kelompok tertentu.

Rekrutmen calon peserta dan penetapan PT-LPTK misalnya, masih rentan dengan campur politik identitas demi membela ikatan primordial, meski kaidah proporsional tetap diperjuangkan. Ini tentu tidak fairr karena hal semacam itu pada akhirnya dapat menimbulkan kecemburuan sosial baik secara personal maupun institusional.

Dalam konteks inilah prinsip keadilan dan kejujuran harus diusung bersama agar tidak terjadi deviasi program yang dapat membengkakkan misi awal. Kata kunci yang harus menjadi komitmen bersama adalah peningkatan mutu pendidikan, bukan semata-mata memperjuangkan hak pendidik………..(#OP300807A#)

Rohmat Mulyana, dosen UIN Bandung, tim sosialisasi Pogram Sertifikasi Departemen Agama Pusat. (PR)

Tinggalkan komentar