Urgensi Kesejahteraan TNI

Bagaimanapun juga isu krusial yang paling urgen dikedepankan dalam proses reformasi TNI saat ini adalah tentang peningkatan kesejahteraan TNI. Betapa tidak, semua aspek persoalan yang menjadi tantangan TNI pada prinsipnya bermuara pada isu tersebut. Sudah selayaknya, dalam memperingati HUT Ke-62 TNI tahun ini ada baiknya kita kembali mempertanyakan pokok persoalan tersebut. Perlu ditekankan di sini bahwa isu peningkatan Kesejahteraan TNI jangan sampai terjebak pada retorika politik semata. Dibutuhkan komitmen pemerintah bersama DPR agar sungguh-sungguh dapat mewujudkan peningkatannya secara signifikan ke depan.

Pada saat memasuki era Reformasi pada tahun 1998, reformasi internal TNI lebih difokuskan pada penghapusan peran sospol ABRI (sekarang TNI). Reformasi internal TNI pada aspek politik ini sebenarnya telah menghasilkan perubahan yang sangat mendasar. Namun demikian, kenyataan ini kurang terkomunikasikan di kalangan masyarakat. Sehingga kemajuan yang telah ditempuh tidak sepenuhnya diketahui publik dan berakibat opini yang berkembang cenderung bias. Di sisi lain, kendala secara kultural memang belum secara maksimal dapat dieliminasi. Proses reformasi kultural diakui tidak segampang yang dibayangkan, tetapi membutuhkan waktu yang lama.

Reformasi internal TNI yang terprogram sejak tahun 1998 merupakan komitmen TNI untuk menata dirinya. Komitmen perubahan ini sesuai dengan tuntutan masyarakat ketika itu agar TNI meninggalkan dwifungsinya. Dari hasil evaluasi reformasi internal tahap pertama (1998-2003), bisa dikatakan bahwa keberhasilannya baru terfokus pada perubahan paradigmanya. Dalam tahapan ini, TNI secara bertahap telah membenahi sejumlah persoalan krusial meliputi peran dan fungsi TNI, fungsi teritorial, doktrin, dan struktur kekuatannya. Sementara itu masih terdapat dua persoalan yang tidak kalah pentingnya, yakni aspek kultural dan kesejahteraan.

Penilaian ini juga sebagaimana yang dinyatakan oleh presiden SBY pada saat pelantikan Marsekal TNI Djoko Suyanto pada tanggal 20 Februari 2005. Beliau menyebutkan bahwa pada awal Reformasi lima tahun pertama (1999-2003), pelibatan TNI (termasuk dalam politik praktis) ternyata sangat tinggi. Hampir seluruh waktu digunakan TNI untuk mengemban tugas yang berat, terutama menghadapi gangguan separatisme dan keamanan dalam negeri. Ironis memang, akibat beban politik yang demikian, perhatian terhadap pembenahan kekuatan dan kesejahteraan terabaikan.

Persepsi dan penilaian masyarakat terhadap kenyataan tersebut juga lebih terarah pada perubahan Paradigma Politik diatas. Mulai dari penilaian yang objektif samapi kepada yang subjektif, dan bahkan ada yang apriori mengkritisi peforma politik TNI an sich. Tuntutan masyarrakat mengarah pada komitmen TNI agar sungguh-sungguh meninggalkan keterlibatan langsungnya dalam bidang politik pada Masa Orrde Baru. Dengan begitu derasnya tuntutan ini, proses reformasi internal TNI mau tidak mau tegiring pada perubahan paradigma politik tersebut. Selanjutnya dalam kondisi yang dekinian, isu krusial yang menyangkut kesejahteraan terabaiakan dengan kompensasi politik tersebut.

Reformasi internal TNI secara bertahap sudah berjalan selama sembilan tahun lebih. Program kegiatan yang telah dilaksanakan meliputi berbagai kebijakan penataan, baik di bidang stuktural maupun kultural. Pemerintah di era Reformasi silih berganti telah mendorong pihak TNI melaksanakan proses reformasi internalnya. Tampaknya isu kebijakan peningkatan kesejahteraan TNI sarat dengan retorika politik belaka. Realitas peningkatannya bisa dikatakan belumlah begitu signifikan dan optimal. Meskipun diakui di beberapa periode pemerintahan telah dilaksanakan pebaikan indeks kesejahteraan TNI, secara terbatas terutama pada penghasilan prajurit (gaji dan ULP). Ditambah dengan adanya kebijakan gaji ke-13, yang hingga saat ini masih dipertahankan.

Menarik untuk disimak kemudian, isu kesejahteraan TNI tesebut kembali menjadi wacana politik DPR. Pada saat memasuki periode kedua reformasi internal TNI (2004-2009), Presiden SBY tertantang untuk membuktikan janji kampanyenya. Berbagai upaya perbaikan kesejahteraan TNI mulai menampakkan hasilnya secara signifikan. Bandingkan saja misalnya, penganggaran rutin  untuk gaji prajurit semasa Orde Baru hanya sebesar Rp.5 tiliun. Di masa Reformasi sudah mulai mencapai Tp. 9 triliun, kemudian naik menjadi Rp. 12 triliun. Pada tahun anggaran 2005 ternyata pemerintah sudah mengeluarkan anggaran sebesar Rp. 23 tiliun. Hanya saja, argumentasi klasik pemerintah menyangkut keterbatasan dukungan anggaran/dana, menyebabkan prroses perbaikan kesejahteraan TNI baru dilaksanakan secara bertahap.

Padahal sebagaimana yang diakui Menhan Juwono Sudarsono (pada wawancara dengan Kompas, tanggal 5 Oktober 2005) negara saat ini baru mampu memenuhi kurang dari 50% anggaran kebutuhan minimal. Kalaupun peningkatan paling banter hanya Rp. 2 triliun per tahun. Melihat kondisi ini, Menhan secara blak-blakan mengungkapkan bahwa dalam 10 tahun ke depan, selama anggaran tidak memenuhi standar minimal (minimum essential standard), profesionalisme TNI secara optimal belum mungkin tercapai. Meskipun demikian, harus diakui peningkatan yang dimaksud Menhan tersebut setidak-tidaknya dapat dibuktikan pemerintah selama dua tahun ini.

Setidak-tidaknya secara teoritis, profesionalisme militer pada prinsipnya akan terkait pada dua hal penting. Di satu sisi, harus jelas mewujudkan kemampuan negara mana mampu mengendalikan militernya. Di sisi lain, sebagai konsekuensinya negara pun harus mampu sekaligus memenuhi kebutuhan anggaran militer yang diperlukan. Menyimak proses reformasi internal TNI yang sudah berjalan hingga saat ini, tampaknya komitmen pemerintah harus diuji pada dua hal penting ini. Dengan demikian, masih diperlukan waktu yang cukup panjang untuk membuktikannya, agar TNI benar-benar profesional sesuai dengan standar profesionalme yang ideal. Kalau pada periode pertama (1998-2003), reformasi internal TNI baru terfokus pada perubahan paradigma politiknya sebagai alat pertahanan negara. Maka selanjutnya isu kesejahteraan TNI menjadi urgen untuk dikedepankan.

Pembenahan kesejahteraan prajurit TNI yang dilaksanakan selama ini meliputi penghasilan prajurit, perawatan prajurit beserta keluarganya, dan perawatan purna dinas. Kondisi penghasilan prajurit yang diukur dengan gaji dan ULP secara bertahap memang telah mengalami perbaikan. Namun demikian, sesuai hasil evaluasi Tim Pokja sesko TNI sampai dengan periode pertama reformasi internal TNI baru sebatas untuk mengimbangi dampak inflasi di sekotr keuangan. Memang bila dipahami sesuai kondisi ekonomi yang ada sekarang, kenyataan tersebut belum sebanding dengan kebutuhan hidup dasar bagi prajurit TNI dan keluarganya.

Kondisi perawatan prajurit pada masa aktif dan purna dinas secara umum masih menjadi perhatian yang belum menggembirakan. Kebutuhan perumahan, pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi prajurit beserta keluarga, tampaknya sampai saat ini belumlah optimal. Peranan koperasi, yayasan-yayasan, dan berbagai lembaga asuransi yang dimiliki TNI bisa dikatakan cukup menonjol untuk membantu perbaikan kesejahteraan prajurit. Meskipun demikian, kontribusinya tidak bisa menggantikan optimalisasi pemenuhan kebutuhan dasar prqajurit. Sementara itu yang paling memprihatinkan, dana prajurit yang terhimpun cukup besar dalam BP-TWP TNI AD dan ASABRI tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk kebutuhan perumahan, akibat tindak korupsi oknum pimpinannya.

Oleh karena itu, kebijakan pemerintah SBY untuk menertibkan bisnis TNI sesuai dengan tuntutan UU merupakan langkah tepat untuk meletakkan tanggungjawab pemenuhan anggaran TNI oleh negara. Untuk itu, prospek pembenahan kesejahteraan TNI ke depan jelas sepenuhnya harus dibebankan kepada anggarran negara. Padahal keadaan ekonomi negara yang masih terbatas hingga saat ini ternyata belum mampu memberikan kesejahteraan yang layak bagi pajurit. Dalam kondisi sedemikian, upaya yang dimungkinkan untuk sekedar membenahi kesejahteraan ini adalah dengan menertibkan aset-aset TNI yang ada saat ini,  terutama yang terkait dengan perumahan. Sungguh tragis, apalagi aset perumahan TNI akhirnya beralih hak milik pada pihak yang tidak bertanggungjawab, sementara pihak pemerintah masih sulit diharapakan untuk dapat menggantikannya.

Selanjutnya, peningkatan kesejahteraan TNI harus terus diupayakan pemerintah. Antara lain melalui penignkatan penggajian prrajurit secar signifikan, sesuai kemampuan ekonomi negara. Langkah lain adalah penertiban penyalahgunaan anggaran dan penegakan hukum untuk menyelamatkan dana-dana lembaga penyantunan purna dinas milik TNI. Kita menyambut gembira adanya rencana pemerintahan SBY mengusulkan rencana kenaikan gaji prajurit TNI untuk TA 2008 sebesar 20%. Diharrapakn nantinya rrencana ini bukan sekadar rretorika politik belaka, tetapi benar-benar dapat direalisasikan. Kita juga mengharap peran DPR agar serius mendukung itikad baik pemerintah ini. Yang jelas, demi pemantapan profesionalisme TNI ke depan. Dirgahayu TNI!….#OP061007A#

Bartain Simatupang, alumnus FISIP-UI dan pemerhati masalah pertahanan.(PR)

Comments
One Response to “Urgensi Kesejahteraan TNI”
  1. cobaberbagi berkata:

    Kesejahteraan PNS????

Tinggalkan komentar